Catatan tentang penyandang disabilitas, desa Bonto Masunggu.

Penyandang disabilitas atau biasa juga dikenal dengan sebutan difabel, meski memiliki pemaknaan yang berbeda tentang dua penamaan diatas, arahnya tetap sama yakni tertuju pada mereka  yang memiliki kamampuan yang berbeda dengan manusia pada umumnya. 

Sudah beberapa pekan ini saya dan kelompok difabel meneiliti soal difabel, mulai dari bagaimana sejarah kecil setiap difabel, kebiasaan difabel, bagaimana mereka berinteraski diruang masyarakat, perilaku setiap difabel, dan bagaimana sosok difabel dimata orang tua mereka serta masyarakat. Desa Bonto Masunggu, Kecamatan Tellu Limpoe Kabupaten Bone, Provinsi Sulawesi Selatan, adalah tempat penelitian kami, ia termasuk desa terpencil dari sekian banyak Desa yang ada di Kabupaten Bone. Dengan jumlah penduduk sebanyak 1105 jiwa. 

Setelah kami kelompok difabel yang terdiri dari dua orang, saya dan teman saya Mutmah. Kami terus menyusuri Desa untuk mencari tahu keberadaan setiap masyarakat yang menyandang difabel, dan mewawancarai orang tua mereka dan orang-orang yang ada disekeliling difabel. Penelitian ini cukup menarik bagi saya pribadi sebap ini menjadi pengalaman awal saya tentang bagimana mengorganisir mereka yang bersatatus difaebel, apalagi saya seorang yang awam akan hal itu, kami pun belajar mengenai jenis-jenis difabel, yang dibimbing langsung oleh kak Ishak Salim, salah satu Panitia Payo-Payo yang mengadakan pelatihan, penelitian,  pengorganisiran dan pengorganisasian rakyat.

Adapun jenis-jenis difabel yang ada di desa Bonto Masunggu diantaranya. Bisu, tuli, low vison, tuna laras, tuna daksa, tuna grahita. Yang tercatat di SID, sebanyak 23 orang. Sehingga kami bergegas mencari informasi tentang 23 orang ini. Sejauh yang kami temukan dalam hal sejarah kecil setiap difabel, kami melihat kecendurungan dari setiap penjelasan orang tua mereka bahwasanya, sebagian dari mereka yang difabel, dimasa kecilnya terkena sakit demam tinggi disertai kejang-kejang atau biasa juga disebut dalam ilmu kesehatan dengan sebutan (Step). Pada umumnya, step pada anak adalah perubahan elektrik pada otak, jika sinyal sinyal dari otak mengalami gangguang atau terjadi keabnormalan, otot-otot tubuh akan berkontraksi dan bergerak tanpa terkendali dan itulah yang terjadi saat tubuh kejang-kejang. Memang penyakit step dijelaskan bahwa ketika ia terjadi berulang-ulang pada anak kurang  lebih dari 15 menit lamanya, dijelaskan bahwa ia akan berpengaruh terhadap syaraf-syaraf otak  bagi anak kecil yang mengalaminya. Penyakit step timbul dikarenakan penurunan daya tahan tubuh pada anak dan juga serangan bakteri yang dapat menimbulkan penyakit, baiasanya ini terjadi ketika system kekebalan tubuh anak sedang mengadakan perlawanan terhadap penyakit akibat perubahan cuaca yang tidak menentu. Tempratur suhu tubuh yang rentang terkena step pada anak kisaran 38-39 derajat Celsius, pada saat itulah rawan terjadi step pada anak, dikarenakan lonjakan suhu badan tidak mampu dikontrol oleh tubuh. Sumber : (Doktersehat.com) 

Sejauh penelitian kami, sudah ada empat orang difabel yang mengalami hal itu dimasa kecilnya dan kami menduga bahwasanya ia mengalami gangguan pada otak sehingga menyebabkan lamanya mereka mengakses sesuatu hal baru yang mereka pelajari. Dan gejala yang terjadi pada difabel lainnya adalah ada yang terjatuh dimasa kecilnya, jatuh dari kasur, jatuh dari tangga, ada juga yang tertimpa kepalanya oleh benda dengan begitu keras, sehingga orang-orang disekelilingnya meyakini dan beranggapan bahwa itu menjadi salah satu indikasi kenapa kemudian ia menjadi difabel.

 kami bertanya lebih dalam lagi, tentang apa yang dilakukan ketika anak-anak mereka mengalami sakit step, terjatuh dari tangga, terjatuh dari kasur, di jatuhi benda, sakit kepala yang begitu kerasnya dan lain-lain. Mereka memiliki dua alternative dalam berobat. Ada yang berobat kedukun/para normal yang biasa mereka sebut dengan massandro ugi. selain berobat massandro ugi,  mereka juga berobat secara medis yaitu ke dokter. Namun dalam pengobatan secara medis, kebanyakan dari mereka tidak terlalu rutin dalam berobat. Memang untuk berobat secara medis, mereka harus menempu perjalanan cukup jauh sekitar kurang lebih 1-2 jam perjalanan naik kendaraan motor atau mobil.

Karena infrastruktur sarana dan prasarana dalam Desa belum mampu menangani penyakit yang di alami oleh mereka yang sudah terlanjur difabel, kecendrungan yang kami dapati juga dalam hal penanganan sakit step, orang tua mereka hanya memberi pengobatan seadanya, tidak terlalu intens dalam konsultasi ke dokter mengenai penyakit yang dialami oleh anak mereka yang terkena step, maupun penyakit lainya. Sebagian dari mereka juga tidak paham apa yang di alami oleh anak-anak mereka, ketika ditanya mereka juga bingung kenapa bisa begitu. Nampaknya pengetahuan tentang step masih sangat minim di masayarakat Desa. Kini mereka para penyandang disabilitas yang kami teliti sudah ada yang memasuki usia, dewasa, dan ada juga yang sudah tua. Mereka dalam sehari-harinya ada yang menghabisakan waktu dirumah, ada juga yang menghabisakn waktu di luar rumah jalan-jalan disekitar rumah, ada juga yang menghabisakan waktu keliling Desa.

Sebagian diantara mereka tidak pernah menginjak yang namanya teras sekolah apalagi duduk dan belajar dibangku sekolah, hal ini juga menjadi pusat perhatian kami. Bahwa sebagian besar orang tua mereka menginginkan anaknya bisa belajar juga sama seperti anak-anak lainya. Walau dengan keterbatasan pada fisik maupun mental harapan orang tua untuk mereka  menjadi manusia yang terdidik tetap melekat pada mereka yang difabel. Bahkan kami juga menemukan diantara mereka ada yang pernah disekolahkan di sekolah formal seperti SD sekolah dasar, namun yang penyandang disabilitas ini memilih untuk tidak lanjut menerusakan sekolah.  paling lama mereka hanya sampai kelas 3 sekolah dasar, lalu kemudian bubar, karena ia tidak bisa mengikuti pelajaran sama seperti anak-anak pada umumnya. Kini mereka hanya bisa belajar dirumah saja, atau sekedar tinggal dirumah saja, mengurung angan mereka untuk bisa bersekolah. membaca, menulis, dan mengapai cita-cita.

Difabel, Sebagian dari mereka juga dimata masyarakat dilabeli dengan sebutan orang gila, gangguan jiwa, sakit jiwa, pepe (bisu), Idiot, dan bodo,-bodo, (bodoh-bodoh). sehingga mereka beranggapan bahwa yang difabel seperti mereka tidak usah terlalu diperhatikan, dan dibiarakan saja. ada juga stegment masyarakat dan bahkan orang tuanya sendiri yang mengatakan, bahwasanya orang-orang yang terlahir seperti mereka sudah pasti tidak disekolahkan. 

Sehingga dalam riset yang kami lakukan sejauh ini kami menduga bahwasanya penyakit step yang tidak ditangani secara tepat ia bisa menyebapkan seorang anak bisa saja menjadi difabel seumur hidup akibat gangguan pada otak, dan pemahaman tentang step masih sangat minim di tengah masayarakat. Begitu pun dengan fasilitas sarana dan prasarana tidak memadai apalagi soal penanganan tentang step, sehingga masyarakat yang menemui penyakit demikian membuat warga kebingungan apa yang harus dilakukan ketika bertemu dengan penyakit tersebut. Disisi lain juga akses yang jauh untuk sampai kesebuah rumah sakit mempengaruhi pengobatan yang tidak rutin terhadap gejala yang terjadi pada anak maupun keluarganya, sebab orang tua tidak punya uang lebih untuk berobat jauh diluar Desa.

Yang kedua bahwasanya paradigma yang tertanam ditengah masayarakat tentang mereka yang sudah terlanjut difabel adalah mereka dilabeli dengan kata idiot, gila dan sebagainya, sehingga menyebapkan kurangnya perhatian terhadap mereka, sedangkan mereka yang difabel adalah orang-orang yang membutuhkan perhatian secara khusus, perlakuan khusus dan pendidikan khusus. 

Komentar

Postingan Populer