Ekologi, Polusi, Dan Kolusi
Mentari pagi mulai terik, cahayanya menimpali sekaligus menerangi. Suara mahluk pun kian menggema, tanda tersirat kehidupan masih terjadi.
Begitupun tumbuhan, mulai menari-nari dibawah terik mentari, menyerap dan mengolahnya menjadi energi, olehnya kemudian tumbuh dan memberikan manfaat di bumi.
Hari-hari hal itu terus terjadi, cuman kondisi mulai agak lain, dulunya semua bebas bervegetasi namun kini kian diselimuti polusi. Entah, Siapa yang akan memperbaiki sebab beberapa manusia menganggapnya tidak penting lagi, asalkan perut dan dompet tetap terisi, segala hal siap diobrak abrik.
Pelintir pembenaran (apologi) kian mencekoki dalam bentuk narasi bahwa kita dalam kondisi yang sama seperti kemarin, tidak ada yang perlu khawatir, bumi ini tetap akan lestari. Bahasa yang terkesan pembenaran ini, lagi-lagi dibantah oleh pembuktian secara empirik. (red : krisis ekologi).
Berbagai kasus telah terjadi dan terus terjadi. Tentu saja petanda bahwa bumi yang kita huni sedang diluar kendali. Haruskah kita terus bergeliat bahwa benar kita sedang bermimpi, kalau alam tetap akan lestari? mari bangun dan cuci muka biar bersih.
Juga, apakah tidak cukup? Kejadian-kejadian yang menjerat dan menimpali petani. mereka bingung sekali setiap saat musim berganti, tanaman mereka selalu saja digerogoti, hama dan penyakit datang silih berganti, musim pun kian tak bisa diprediksi, hingga pertanyaan yang tersirat di hati, ada apa dengan semua ini?
Kemarin tidak seperti ini, tanah masih menjadi tempat akar tanaman mencari makan berbagai bahan organik, tidak banyak syarat yang diajukan (dari tanah untuk tanaman dari tanaman untuk petani). Cukup dengan pupuk alami dari bahan-bahan yang diramu sendiri hasil dari para hewani di dekomposisi oleh jasad renik.
Sumber foto : Sureq.co |
Akhir-akhir ini tanah tidak mau berkompromi, tanaman enggan tumbuh dengan baik. Banyak hal sudah dilakukan petani tapi lagi-lagi setiap musim berganti, tanaman keterusan menawarkan syarat agar bisa tumbuh subur (sesuai keinginan petani) berbagai produk tani telah di beli namun petani malah jatuh rugi.
Padahal cahaya matahari masih saja menimpali, tidak ada yang berubah dari matahari, ia masih saja bundar dan bercahaya menerangi bumi tanpa pamrih, lantas apa yang berubah di era ini?
Sungguh ironi jika semua tanah tak lagi mau berkompromi, walhasil kepunahan tak terbendung lagi, ada apa dengan semua ini? Seakan semua penuh teka-teki, atau ini adalah dampak dari ambisi? Entahlah, berharap ini bukan semata-mata karena kolusi.
Komentar
Posting Komentar