Kesetaraan tidak usah diteriakan, tapi dilakukan.
Perempuan pedesaan selalu menjadi sorotan dalam era milenial ini, sebab perempuan pedesaan masih tetap saja eksis memperlihatkan kelihaian sebagai sosok perempuan yang mampu bekerja bersama dengan laki-laki. Selama ini yang lumrah ditemui adalah laki-laki yang bekerja untuk menghidupi keluarga dan perempuan yang sibuk mengurus rumah tangga. Namun dalam hal ini perempuan tidak demikian. Perempuan pedesaan ikut mengambil peran yang signifikan dalam hal urusan pekerjaan terkhusunya dalam bidang pertanian.
Salah satu yang menjadi acuan bahwa perempuan masih ikut andil dalam mengambil peran signifikan dalam menghidupi rumah tangga adalah perempuan di Desa Bonto Masunggu. yang menjadi objek tulisan ini, dimana keseharian mereka menjalani hidup sebagai seorang istri dari seorang petani. Pembagian peran antara laki-laki dan perempuan di Desa ini cukup mengambarkan bahwa perempuan adalah sosok yang mampu menunjukan eksistensinya jika diberi ruang dalam proses penghidupan.
Pekerjaan perempua di Desa ini adalah menanam padi, menanam jagung, dan menanam kacang. Proses itu mereka jalankan ketika laki-laki selesai membajak lahan, setelah itu perempuan yang ambil alih dalam urusan menanamnya, bahkan dalam hal mengurusi tanaman dilakukan laki-laki menjadi hal lumrah juga dilakukan perempuan pedesaan. Seperti menyemprot, membersihkan gulma, dan mengurusi aliran air yang masuk ke ladang atau kebun.
Artinya bahwa peran-peran perempuan masih sangat terlihat dalam ruang lingkup pedesaan, mereka membuktikan bahwa perempuan tidak hanya menjadi bahan objek seksualitas semata bagi si laki-laki dan tidak hanya terkurung dalam rumah dan sibuk mengurusi rumah tangga saja, tapi lebih luas dari pada itu.
Perempuan pedesaan yang tergambarkan ketika kita berkunjung ke Desa-desa adalah perempuan yang kuat dalam bekerja yang biasanya dilakukan laki-laki pada umumnya, apalagi Desa yang masih kental akan budayanya, kekerabatanya, ikatan ke keluarganya dan kebiasanya saling membantu antara satu dengan yang lainya dalam hidup berdampingan.
Namun pada kesempatan kali ini saya tidak akan menuliskan tentang uraian diatas, namun dalam tulisan ini saya mencoba mengambarkan bagaimana perempuan menjadi pekerja upahan diluar Desa sendiri demi tercukupinya kebutuhan rumah tangga.
Pada awalnya sebelum kami mencari tahu tentang perempuan buruh upahan menanam dan panen padi di desa Bonto Masunggu. kami mendengar cerita dari warga bahwasanya perempuan di Desa ini dikenal dengan perempuanya yang pintar dalam hal bercocok tanam padi, sehingga saya sontak penasaran mendengar hal itu. Hingga kemudian saya memilih untuk mencari tahu lebih jauh tentang, kenapa kemudian perempuan di Desa ini bekerja menjadi buruh upahan menanam padi. Padahal pada umumnya yang kita pahami selama ini adalah perempuan hanya bekerja dalam skala mengurus rumah tangga saja, dan laki-laki yang bekerja untuk menghidupi keluarga dirumah, sebagai tulang punggung keluarga dan istri mengrusi rumah tangga dalam hal beres-beres rumah, merawat anak dan sebagainya.
Setelah dicari tahu lebih jauh tentang alasan kenapa kemudian mereka para perempuan melakukan hal itu. Ternyata memang di desa Bonto Masunggu ini sudah menjadi budaya atau kebiasaan perempuan dalam hal bercocok tanam, berdasarkan informan yang kami temui dari rumah-kerumah tidak sedikit yang mengatakan bahwa mereka memang sedari kecil sudah dilatih oleh orang tua mereka agar tahu menanam padi sejak kecil orang tua membawa anaknya baik itu ke kebun maupun kesawah, menurut cerita anak-anak yang sering dibawa kelahan sawah. sehingga kata salah satu masyarakat, secara otomatis anak itu akan belajar berdasarkan apa yang ia lihat. Memang dalam kehidupan sehari-harinya mereka juga terlihat dan tergambarkan bahwa penghidupan utama mereka adalah bertani dan berkebun.
Sejauh pencarian kami tentang kapan awal mula mereka perempuan mulai mengeluti pekerjaan sebagai buruh tani upahan menanam dan memanen padi, ada perbedaan yang terlihat jelas terhadap setiap informan yang kami temui, karena tidak ada yang ingat jelas kapan awal mula mereka menjalani itu. Namun diperkirakan berdasarkan penjelasan setiap informan, itu terjadi sudah puluhan tahun yang lalu, semenjak mereka memilih untuk bermukim dan menetap di Desa ini.
Pekerjaan menjadi buruh upahan menanam padi mereka menyatakan bahwa hal itu sangat membantu perekonomian kelurga, mulai dari urusan kebutuhan pokok dan gaya hidup bisa terpenuhi seperti : beli baju, beli peralatan dapur, bahan dapur, dan kebutuhan anak untuk sekolah bisa tertutupi. Hal yang menarik juga terdapat pada anak-anak di Desa ini ketika hari libur tiba yang bersamaan dengan musim panen tiba, tidak seperti anak kebanyakan memanfaatkan waktu libur sekolah sebagai waktu bersantai, jalan-jalan ke pantai, berkunjung ke temapt-tempat wisata dan sebagainya. Anak-anak di Desa ini pun ikut terlibat dalam bekerja sebagai buruh upahan, baik itu buruh tanam maupun panen. Katanya itu bisa menambah-nambah uang jajan ketika libur sekolah telah usai dan bekerja sebagai buruh upahan menjadi kegembiraan tersendir bagi mereka, bisa bermain di alam bebas dengan riang gembira dan bersama keluarga tentunya. Hal ini dikatakan salah satu informan kami yang masih berusia 19 tahun yang tidak kami sebutkan namanya dalam tulisan ini.
Betapa tidak mereka bekerja sebagai buruh tani dibanrol dengan harga delapan puluh sampai seratus ribu rupiah dalam perharinya, menurut salah satu informan menerangkan bahwa ia bisa membawa kurang lebih satu juta rupiah dalam hitungan sepuluh hari bekerja di luar Desa. biasanya mereka akan keluar Desa bekerja ketika mereka di panggil oleh sanak saudara jika musim tanam atau panen tiba. Tempat yang sering mereka tempati menjadi pekerja upahan dalam hal menanam dan memanen padi diantaranya desa Tondong kura, dan desa Patallassang di Pangkep. Sudara atau kerabat mereka yang berdomisili disana akan datang ke desa Bonto Masunggu untuk mencari para perempuan yang mau bekerja sebagai buruh upahan, dengan membawa mobil yang akan dipakai mengangkut para perempuan yang didominasi ibu-ibu untuk bekerja disana.
Mereka yang pergi akan mempersiapkan segala keperluan pribadi selama ia pergi merantau keluar desa, pasalnya mereka akan menginap disana, setelah pekerjaan usai mereka baru kembali ke Desa, paling lama mereka akan tinggal diluar Desa selama satu bulan dan paling cepatnya kisaran satu minggu, lalu kemudian kembali ke Desa. ketika mereka usai bekerja dan menerima upah selama ia bekerja katanya ibu-ibu atau para perempuan akan langsung membelanjakan hasil pekerjaan mereka di Pangkep, jadi kalau mereka mau pulang mereka tidak membawa uang sepenuhnya akan tetapi mereka membawa barang-barang yang sudah di belanjakanya tadi, seperti baju baru peralatan dan bahan-bahan di dapur. Ia melakukan hal itu berdasrakan perhitungannya bahwa jarak antara pasar dengan Desa Bonto Masunggu cukup jauh, pasar utama mereka ada di Pangkep. Jadi para perempuan harus pintar-pintar memanfaatkan situasi, mumpung tempat kerja dan pasar cukup dekat, mendingan membeli segala keperluan dulu baru pulang.
Awalnya sebelum perempuan di Desa Bonto Masunggu keluar Desa menjadi pekerja upahan. Didalam Desa pun terjadi system buruh upahan menanam padi. Namun system upahan didalam dan diluar Desa sudah pastilah tidak sama, karena kekerabatan dan kekeluargaan masih sangat kental di Desa ini cukup mereka yang ingin meminta bantuan terhadap sesama penduduk Desa itu dibanrol dengan harga cukup murah menurut mereka. Dengan kisaran lima puluh ribu rupiah, upah untuk setiap mereka yang membantu saudara maupun keluarga menanam padi.
Stegment ibu-ibu ketika ditanyai tentang kenapa kemudian keluar menjadi buruh upahan menanam padi? Rata-rata mereka mengemukakan bahwasanya hal itu sangat membantu ekonomi keluarga, selain itu juga sebagian dari mereka menjelaskan bahwasanya, itu karena ia tidak memiliki cukup lahan pertanian untuk digarap dalam Desa, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sehingga ia memilih menjadi buruh upahan tanam padi di luar Desa.
Tapi itu dulu, sekarang perempuan di desa Bonto Masunggu menetap dalam Desa, sejak kurang lebih dua puluh tahun yang lalu. Mereka mengaku bahwa sudah hampir tidak ada lagi perempuan yang bekerja sebagai buruh upahan di luar Desa lagi. Kini perempuan hanya berkutat dalam Desa dan lebih banyak menjalani rutinitas dalam Desa, ada yang bekerja sebagai ibu rumah tangga saja, ada yang bertani bersama suami, ada juga yang menjadi buruh upahan pengangkut pasir dan ada juga yang menjalani rutinitas mengambil kayu bakar setiap saatnya. Kami juga sempat menanyakan bahwa kira-kira perempuan di Desa ini masih mau tidak menjadi pekerja upahan ketika ada yang datang memanggil lagi diluar Desa? Ia menjawab cukup tegas dan mengatakan “ia kami masih mau”.
Namun setelah kami menyusuri perempuan pekerja upahan di Desa ini kami mendapat jawaban yang cukup logis, penyebab perempuan tidak bekerja diluar Desa lagi. Factor utama sehingga tidak ada lagi yang datang ke Desa ini untuk mengajak mereka keluar untuk menjadi buruh upahan menanam padi, dikarenakan diluar Desa yang biasa mereka tempati bekrja sebagai buruh upahan sudah mengunakan mesin dalam hal melakukan memanen dan menanam padi.
Masayarakat desa Bonto Masunggu juga mengatakan kepada kami bahwa, kini justru mereka yang memanggil buruh upahan menanam padi untuk datang di Desa untuk menanami lahan yang mereka garap. Setgment ini cukup menarik perhatian saya, sebab mereka yang dulunya menjadi buruh upahan menanam padi justru sekarang berbanding terbalik dengan apa yang mereka geluti selama 20 tahun terakhir. Ada apa kira-kira yang terjadi? perubahan apa yang terjadi pada masyarakat desa Bonto Masunggu sehingga menyebabkan perubahan yang signifikan terhadap mereka yang dulunya dibayar sekarang menjadi membayar buruh upahan menanam padi.
Salah satu yang menjadi acuan bahwa perempuan masih ikut andil dalam mengambil peran signifikan dalam menghidupi rumah tangga adalah perempuan di Desa Bonto Masunggu. yang menjadi objek tulisan ini, dimana keseharian mereka menjalani hidup sebagai seorang istri dari seorang petani. Pembagian peran antara laki-laki dan perempuan di Desa ini cukup mengambarkan bahwa perempuan adalah sosok yang mampu menunjukan eksistensinya jika diberi ruang dalam proses penghidupan.
Pekerjaan perempua di Desa ini adalah menanam padi, menanam jagung, dan menanam kacang. Proses itu mereka jalankan ketika laki-laki selesai membajak lahan, setelah itu perempuan yang ambil alih dalam urusan menanamnya, bahkan dalam hal mengurusi tanaman dilakukan laki-laki menjadi hal lumrah juga dilakukan perempuan pedesaan. Seperti menyemprot, membersihkan gulma, dan mengurusi aliran air yang masuk ke ladang atau kebun.
Artinya bahwa peran-peran perempuan masih sangat terlihat dalam ruang lingkup pedesaan, mereka membuktikan bahwa perempuan tidak hanya menjadi bahan objek seksualitas semata bagi si laki-laki dan tidak hanya terkurung dalam rumah dan sibuk mengurusi rumah tangga saja, tapi lebih luas dari pada itu.
Perempuan pedesaan yang tergambarkan ketika kita berkunjung ke Desa-desa adalah perempuan yang kuat dalam bekerja yang biasanya dilakukan laki-laki pada umumnya, apalagi Desa yang masih kental akan budayanya, kekerabatanya, ikatan ke keluarganya dan kebiasanya saling membantu antara satu dengan yang lainya dalam hidup berdampingan.
Namun pada kesempatan kali ini saya tidak akan menuliskan tentang uraian diatas, namun dalam tulisan ini saya mencoba mengambarkan bagaimana perempuan menjadi pekerja upahan diluar Desa sendiri demi tercukupinya kebutuhan rumah tangga.
Pada awalnya sebelum kami mencari tahu tentang perempuan buruh upahan menanam dan panen padi di desa Bonto Masunggu. kami mendengar cerita dari warga bahwasanya perempuan di Desa ini dikenal dengan perempuanya yang pintar dalam hal bercocok tanam padi, sehingga saya sontak penasaran mendengar hal itu. Hingga kemudian saya memilih untuk mencari tahu lebih jauh tentang, kenapa kemudian perempuan di Desa ini bekerja menjadi buruh upahan menanam padi. Padahal pada umumnya yang kita pahami selama ini adalah perempuan hanya bekerja dalam skala mengurus rumah tangga saja, dan laki-laki yang bekerja untuk menghidupi keluarga dirumah, sebagai tulang punggung keluarga dan istri mengrusi rumah tangga dalam hal beres-beres rumah, merawat anak dan sebagainya.
Setelah dicari tahu lebih jauh tentang alasan kenapa kemudian mereka para perempuan melakukan hal itu. Ternyata memang di desa Bonto Masunggu ini sudah menjadi budaya atau kebiasaan perempuan dalam hal bercocok tanam, berdasarkan informan yang kami temui dari rumah-kerumah tidak sedikit yang mengatakan bahwa mereka memang sedari kecil sudah dilatih oleh orang tua mereka agar tahu menanam padi sejak kecil orang tua membawa anaknya baik itu ke kebun maupun kesawah, menurut cerita anak-anak yang sering dibawa kelahan sawah. sehingga kata salah satu masyarakat, secara otomatis anak itu akan belajar berdasarkan apa yang ia lihat. Memang dalam kehidupan sehari-harinya mereka juga terlihat dan tergambarkan bahwa penghidupan utama mereka adalah bertani dan berkebun.
Sejauh pencarian kami tentang kapan awal mula mereka perempuan mulai mengeluti pekerjaan sebagai buruh tani upahan menanam dan memanen padi, ada perbedaan yang terlihat jelas terhadap setiap informan yang kami temui, karena tidak ada yang ingat jelas kapan awal mula mereka menjalani itu. Namun diperkirakan berdasarkan penjelasan setiap informan, itu terjadi sudah puluhan tahun yang lalu, semenjak mereka memilih untuk bermukim dan menetap di Desa ini.
Pekerjaan menjadi buruh upahan menanam padi mereka menyatakan bahwa hal itu sangat membantu perekonomian kelurga, mulai dari urusan kebutuhan pokok dan gaya hidup bisa terpenuhi seperti : beli baju, beli peralatan dapur, bahan dapur, dan kebutuhan anak untuk sekolah bisa tertutupi. Hal yang menarik juga terdapat pada anak-anak di Desa ini ketika hari libur tiba yang bersamaan dengan musim panen tiba, tidak seperti anak kebanyakan memanfaatkan waktu libur sekolah sebagai waktu bersantai, jalan-jalan ke pantai, berkunjung ke temapt-tempat wisata dan sebagainya. Anak-anak di Desa ini pun ikut terlibat dalam bekerja sebagai buruh upahan, baik itu buruh tanam maupun panen. Katanya itu bisa menambah-nambah uang jajan ketika libur sekolah telah usai dan bekerja sebagai buruh upahan menjadi kegembiraan tersendir bagi mereka, bisa bermain di alam bebas dengan riang gembira dan bersama keluarga tentunya. Hal ini dikatakan salah satu informan kami yang masih berusia 19 tahun yang tidak kami sebutkan namanya dalam tulisan ini.
Betapa tidak mereka bekerja sebagai buruh tani dibanrol dengan harga delapan puluh sampai seratus ribu rupiah dalam perharinya, menurut salah satu informan menerangkan bahwa ia bisa membawa kurang lebih satu juta rupiah dalam hitungan sepuluh hari bekerja di luar Desa. biasanya mereka akan keluar Desa bekerja ketika mereka di panggil oleh sanak saudara jika musim tanam atau panen tiba. Tempat yang sering mereka tempati menjadi pekerja upahan dalam hal menanam dan memanen padi diantaranya desa Tondong kura, dan desa Patallassang di Pangkep. Sudara atau kerabat mereka yang berdomisili disana akan datang ke desa Bonto Masunggu untuk mencari para perempuan yang mau bekerja sebagai buruh upahan, dengan membawa mobil yang akan dipakai mengangkut para perempuan yang didominasi ibu-ibu untuk bekerja disana.
Mereka yang pergi akan mempersiapkan segala keperluan pribadi selama ia pergi merantau keluar desa, pasalnya mereka akan menginap disana, setelah pekerjaan usai mereka baru kembali ke Desa, paling lama mereka akan tinggal diluar Desa selama satu bulan dan paling cepatnya kisaran satu minggu, lalu kemudian kembali ke Desa. ketika mereka usai bekerja dan menerima upah selama ia bekerja katanya ibu-ibu atau para perempuan akan langsung membelanjakan hasil pekerjaan mereka di Pangkep, jadi kalau mereka mau pulang mereka tidak membawa uang sepenuhnya akan tetapi mereka membawa barang-barang yang sudah di belanjakanya tadi, seperti baju baru peralatan dan bahan-bahan di dapur. Ia melakukan hal itu berdasrakan perhitungannya bahwa jarak antara pasar dengan Desa Bonto Masunggu cukup jauh, pasar utama mereka ada di Pangkep. Jadi para perempuan harus pintar-pintar memanfaatkan situasi, mumpung tempat kerja dan pasar cukup dekat, mendingan membeli segala keperluan dulu baru pulang.
Awalnya sebelum perempuan di Desa Bonto Masunggu keluar Desa menjadi pekerja upahan. Didalam Desa pun terjadi system buruh upahan menanam padi. Namun system upahan didalam dan diluar Desa sudah pastilah tidak sama, karena kekerabatan dan kekeluargaan masih sangat kental di Desa ini cukup mereka yang ingin meminta bantuan terhadap sesama penduduk Desa itu dibanrol dengan harga cukup murah menurut mereka. Dengan kisaran lima puluh ribu rupiah, upah untuk setiap mereka yang membantu saudara maupun keluarga menanam padi.
Stegment ibu-ibu ketika ditanyai tentang kenapa kemudian keluar menjadi buruh upahan menanam padi? Rata-rata mereka mengemukakan bahwasanya hal itu sangat membantu ekonomi keluarga, selain itu juga sebagian dari mereka menjelaskan bahwasanya, itu karena ia tidak memiliki cukup lahan pertanian untuk digarap dalam Desa, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sehingga ia memilih menjadi buruh upahan tanam padi di luar Desa.
Tapi itu dulu, sekarang perempuan di desa Bonto Masunggu menetap dalam Desa, sejak kurang lebih dua puluh tahun yang lalu. Mereka mengaku bahwa sudah hampir tidak ada lagi perempuan yang bekerja sebagai buruh upahan di luar Desa lagi. Kini perempuan hanya berkutat dalam Desa dan lebih banyak menjalani rutinitas dalam Desa, ada yang bekerja sebagai ibu rumah tangga saja, ada yang bertani bersama suami, ada juga yang menjadi buruh upahan pengangkut pasir dan ada juga yang menjalani rutinitas mengambil kayu bakar setiap saatnya. Kami juga sempat menanyakan bahwa kira-kira perempuan di Desa ini masih mau tidak menjadi pekerja upahan ketika ada yang datang memanggil lagi diluar Desa? Ia menjawab cukup tegas dan mengatakan “ia kami masih mau”.
Namun setelah kami menyusuri perempuan pekerja upahan di Desa ini kami mendapat jawaban yang cukup logis, penyebab perempuan tidak bekerja diluar Desa lagi. Factor utama sehingga tidak ada lagi yang datang ke Desa ini untuk mengajak mereka keluar untuk menjadi buruh upahan menanam padi, dikarenakan diluar Desa yang biasa mereka tempati bekrja sebagai buruh upahan sudah mengunakan mesin dalam hal melakukan memanen dan menanam padi.
Masayarakat desa Bonto Masunggu juga mengatakan kepada kami bahwa, kini justru mereka yang memanggil buruh upahan menanam padi untuk datang di Desa untuk menanami lahan yang mereka garap. Setgment ini cukup menarik perhatian saya, sebab mereka yang dulunya menjadi buruh upahan menanam padi justru sekarang berbanding terbalik dengan apa yang mereka geluti selama 20 tahun terakhir. Ada apa kira-kira yang terjadi? perubahan apa yang terjadi pada masyarakat desa Bonto Masunggu sehingga menyebabkan perubahan yang signifikan terhadap mereka yang dulunya dibayar sekarang menjadi membayar buruh upahan menanam padi.
Komentar
Posting Komentar