"Satu Hari di Desa Sattoko"
Berkunjung ke salah satu rumah sahabat, bergeliat berpacu dengan tumpukan tanah bernama gunung menjulang ke angkasa, ritme suara motor berubah-ubah mendaki dengan beralaskan getah, terpasang pada kedua roda, jalur berliku-liku isarat untuk mengendarai motornya biasa saja, jangan tarik gas terlalu dalam.
Perjalanan dari rumah menuju kediaman sahabat, menghimpun waktu sekitar 10-15 menit saja, menikmati panorama alam, membentang sisi kiri kanan, komoditi padi, kakao, jagung, serta aliran air sungai maloso, ikut Mewarnai setiap kedipan mata, sesekali kelilipan itupun karena terpapar debu dari kendaran proyek lalu lalang.
Hari itu, kamis. hari dimana perjanjian untuk bersenggama, menghabiskan waktu seharian disana, Desa Sattoko. Wahh, menarik disana saya melakukan kunjungan dibeberapa titik lokasi, kediaman warga dan bersenggama dengan alam, hasilnya akan ku coba urai sedikit demi sedikit.
Niat awal, bertandang kesana hanyalah untuk menemui teman/sahabat, ia hendak melaksanakan penelitian, sebagaimana instruksi sistemik kampus yang mengharuskan melaksanakan penelitian, sebagai pembuktian kognitif, implementasi dari apa yang pernah sistem kampus benamkan dikepala. Itulah alasannya! Rutinitas ini adalah bagian dari pembuktian secara logis, sebagaimana kita mahluk yang sedikit bergeser mulai berkiblat atas rasionalitas, stegmen harus diurai secara logis, dengan mengelaborasi beberapa argumentasi dari beberapa mahluk rasional terlebih dahulu, menjejaki penelitian, pembuktian dalam kaca mata akademis memang cukup luwes, menelusuri beberapa pendapat menguatkan hipotesa.
Penelitian dilakukan, dilatar belakangi oleh beberapa temuan yang cukup problematis, untuk itu perlu banyak menghimpun informasi, riset data. Sebagaimana dulu, pola laku serta apa yang selama ini diterka-terka oleh petani atas apa yang mereka temui, hanya berada pada tataran cerita-kecerita, namun tidak ada penelusuran secara gamblang apa yang menjadi biang masalah yang ada, teruntuk itu dan atas dasar itu perlu kiranya pembuktian secara empiris hal-hal problematis, demikian!
Beranjak dari niat awal, tidak komplit rasanya ketika berkunjung ke suatu Desa, namun tidak menelusuri beberapa lokasi-lokasi strategis, dimana gairah petualang harus disalurkan.
**Keliling Desa**
Hasilnya, di Desa Sattoko, saya beranjak dari rumah kawan, mengendarai motor tancap gas ke gunung. menakjubkan, disana terlihat hamparan ubi kayu, berbaris ke puncak gunung. Menurut cerita sahabat saya Halida, mereka menanami lahan mereka karena salah satu alasannya dulu, sempat ada isu peternakan sapi disana, dan mereka menolak hal itu. Hamparan rerumputan atau Masyarakat Sattoko biasa menamainya Dengan sebutan galung, yang berarti hamparan gunung. Dulunya mau dijadikan lokasi ternak sapi namun masyarakat menolak peternakan sapi dan lebih memilih pola tanam-menananam.
Ternak sapi, program pemerintah!
Bergegas dari cerita sapi, Halida dan saya menuju lokasi lainnya.
Sebagaimana Petani, teman saya Halida, mencoba menunjukan hamparan tanah miliknya. Hal yang sama tejadi disana, tanahnyapun ditumbuhi tanaman jagung, dan ubi kayu. Hingga Kami sedikit melepaskan penak, sebab desus angin kiang kencang terdengar melalui rongga hidung. Ada Rumah-rumah tani, terlihat kokoh berdiri ditengah hamparan hijau cocok menjadi pelepas penak. Beberapa menit Waktu berlalu, kami kembali beranjak, menuju waterfall, ajak Halida, mau ke air terjun sal? Boleh, ayok kita kesana! Kamipun bergegas.
**Alam Desa Sattoko**
Setelah naik turun gunung, sampailah kami disana, alam yang masih terbilang asri, disana saya sedikit rileksasi menikmati kucuran air yang cukup dingin. Serasa ditengah-tengah hutan belantara, kicau burung, pepohonan menjulang tinggi semakin menambah nuansa alam yang harmonik.
Kata Halida, air terjun ini masih wilayah Desa Sattoko, air jernih terpampang nyata Dimata mengalir diselah-selah tebing batu. Indah dipandang mata, vegetasi alam terlihat begitu harmonis. Terus pasca itu, mari beranjak dari main air.
**Cerita Petani dan perantauan**
Lanjut, sehabis main air. kami bergegas balik, menuju kebun untuk menemui sosok perempuan yang menjadi cikal bakal lahirnya sosok manusia bernama Halida. Puncak gunung kami bertemu, beliau sedang membersihkan gulma dari sela-sela tanaman jagung miliknya, ia bersama anak perempuanya adik dari Si Halida. Disana kami disambut dengan senyuman, tidak lama berselang, ada sebuah rumah tani berukuran sekitar 3x4 meter, disana saya bertemu dengan dua sosok petani, satunya berambut pirang putih alami, kulit keriput diterpa usia yang mulai menua, satunya lagi berkumis tebal, perawakan tubuh menunjukan bahwa ia pekerja keras.
Saya dan Halida disambut dengan racikan kopi hitam hangat, sambil menyeruput kopi yang sudah mengendap ampasnya, kami sedikit mengusik bercerita tentang berbagai hal tentang mereka sebagai seorang petani berpengalaman. Salah satu diantara mereka petani berperawakan kumis tebal yang menonjol, membuat suasana mulai mencair dalam cerita. Beliau katanya sudah tinggal di kebun sendiri dalam rens waktu memakan usia terhitung lama sudah setahun tahun lebih, ia lebih memilih tinggal di rumah tani miliknya, walau begitu ia sesekali berkunjung ke pemukiman warga namun sangat jarang untuk bermalam, ia lebih suka sendiri dirumah tani miliknya "lebih tenang" katanya.
Sebagaimana kasus-kasus yang menjamur di Desa, ia juga bercerita sekelumit pengalamanya selama jadi perantau, sebelum ia memutuskan untuk pulang kampung dan bertani, ia banyak menjejaki beberapa titik pusat perantauan, Kalimantan, Malaysia, Gorontalo dll, sudah pernah ia tinggali. menjadi anak rantau kayanya memberikan banyak pengalaman hidup darinya, pekerjaan diperantauan katanya sama saja, ia juga jadi buruh upahan tani selama ditanah rantau.
Kenapa merantau? Itu katanya bukan semata-mata mencari pengalaman, tetapi lebih kepada tergiur apa yang terdendang ditelinga tentang anak rantau, ujungnya ekspektasi tidak sesuai realita. Lantas kenapa pola rantau di Desa itu masih menjamur? Itu masih terbilang pertanyaan yang belum terjawab secara kaffah, dan Lagi-lagi bicara tentang nasib ditanah rantau, cerita bergulir ke arah bahwa ada yang beruntung ditanah rantau ada pula yang kurang beruntung. Jadi apakah hanya sampai tataran itu, tentang sebuah kesimpulan tentang rantau? Pertanyaan inipun masih sama, tidak ada penjelasan yang akurat, mengapa dan bagaimana sehingga demikian.
Setelah beberapa diksi kata mulai berselancar ditengah seruputan kopi dan jagung bakar (bata, Tunu) satu persatu kita mulai berpamitan, yang tersisa di gelas kopi hanyalah tinggal endapan ampas, menjadi saksi bisu semua cerita di atas rumah tani itu. Esok kita bersenggama lagi, bersama kopi hangat bata, tunu.
Pamit, menuju niat awal. Membantu kawan dalam realisasi implementasi sebuah pembuktian melalui, penelitian. komoditi lada yang jadi objeknya. Waktu serasa begitu cepat berlalu, tidak terasa, tiba-tiba beberapa hewan mulai membunyikan suara keras, seakan menembaki telinga, nampaknya mereka mau menunjukan bahwa kami memasuki kawasan kekuasaan mereka.
Oke kami bergegas, tiba saatnya, cahaya berganti gelap. Kami beranjak, sebab isyarat alam sudah mengharuskan kita pulang, mari!
Beres-beres dan pasca itu mandi, menuju rumah Halida, sedikit bersantai dulu, sambil sedikit cerita tentang masa lampau.
**Pemuda dan akses internet Desa**
Singkat cerita, kami lagi-lagi bergeser dari rumah menuju gunung, kata saya, ayo ke gunung cari jaringan. Sebab dirumah Halida akses jaringan belum terjangkau. Yoweslah! Sekitar pukul delapan malam WIB kami bergegas, menuju puncak gunung.
Disana kami bertemu beberapa pemuda Desa, mereka sama dengan apa yang kami rencanakan, mencari titik di mana hape/handphone yang kehilangan smartnya ketika tidak mengkonsumsi jaringan 3G/4G.
Beberapa mereka terlihat bertengger diatas pohon yang mereka sudah desain bersama. Kata Halida, memang mereka hampir tiap malam bergegas kegunung mencari jaringan, apalagi sejak bersentuhan dengan game yang marak akhir-akhir ini. Mereka terlihat begitu antusias mendaki pohon, terdengar suara yang berkata "jelek jaringan aduh" sembari melanjutkan peperangan di layar handphone.
Game apa yang sering Mereka mainkan? tanyaku kepada Halida! Katanya Halida Game PUBG. Timpalku, Owwhh!
PlayerUnknown's Battlegrounds (sering disingkat PUBG) adalah sebuah permainan dengan genre battle royale, yang para pemainnya bisa bermain dengan 100 orang sekaligus secara daring. Di dalam permainan ini pemain bisa bermain solo, tim 2 orang, dan tim 4 orang, serta bisa mengundang teman untuk bergabung ke dalam permainan sebagai tim.
Game PUBG yang didesain untuk handphone, memang cukup marak dimainkan, tidak hanya manusia kota yang berlimpah akses jaringan internet, di Desa pun demikian. Meski berjibaku dengan alam, nuansa main gemenya semakin memiliki karakteristik tersendiri, bagi pemuda yang mendiami Desa.
Selain itu, beberapa juga terlihat asyik, berselancar di beranda Facebook atau sekedar chating saja.
Setelah itu, kami beranjak ke titik lain saja, sebab titik yang di diami sekumpulan pemuda tadi hanya untuk mereka yang memakai kartu exis, berhubung saya pengguna kartu bermerek tri, jadi saya harus mencari titik lain. Ke Gunung yang berbeda, bertolaklah kami kesana.
Gunung puncak embun jawabannya, disana akses internet jaringan tri memadai, berselancar di sosial media, sambil menikmati nuansa alam. Meneropong indahnya pemukiman warga dari kejauhan, lampu-lampu terlihat membentuk pola tak beraturan, kunikmati malam dengan semua itu, indah!
Beradah ditengah-tengah gunung serta pohon yang menjulang, hingga angin mengusik kulit, sudah tidak terbendung lagi. Oke angin, kami pulang. Sekitar pukul sebelas malam, kami turun gunung, sepanjang Titik jalan masih terlihat pemuda-pemuda itu tadi menikmati sajian handphone genggam miliknya.
Oke, kami pulang duluan!
Komentar
Posting Komentar