Manusia dan Penaklukan Alam

 Beberapa bulan lalu saya berdiskusi dengan teman tentang sebuah kajian, ia membahas dan menyoal bagaimana manusia takluk di hadapan alam, lalu berbalik menaklukkan alam.

Dengan berbagai hingar bingar tentang perusakan lingkungan di era kini, gagasan tentang penyelamatan lingkungan berpacu pada landasan yang sama terkait perusakan lingkungan dan penyelamatan lingkungan, bagai dua anak panah yang melesat ke bumi.

Kerusakan ekologi semakin pesat dan terlihat gamblang sejak memasuki abad 19, manusia mulai melirik alam sebagai objek mata rantai "komoditas"  yang bisa dengan mudahnya dikapitalisasi. walau manusia dikenal tidak suka makan batu bara, serta material lainnya tetap saja segelintir manusia terus-terusan menguras dengan segala cara.

Bagaimana itu semua bisa terjadi?

Mulanya Manusia takluk atas alam (inferior).

Lalu, Manusia memanfaatkan alam (inferior).

Kemudian, Manusia menaklukkan alam (Eksploitasi alam) superior.

Harapannya, Manusia hidup selaras dengan alam. (Nilai hidup).

Manusia pada mulanya takluk di hadapan alam, fase ini paling banyak ditemukan pada manusia yang di klasifikasikan sebagai "manusia zaman Primitif" kelompok manusia tipe ini masih dicekoki dengan perspektif bahwa alam memiliki kekuatan dahsyat, sehingga mereka tidak sembarang saja dalam memperlakukan alam. Kehidupan "manusia dan alam" benar-benar diselaraskan dengan aktivitas hidup mereka, ketergantungan manusia dengan alam benar-benar nyata, hingga pandangan ini di kritisi karena terlalu menjulur pada sikap-sikap takhayul oleh sebagian manusia yang menganggap dirinya lebih maju.

Banyak hal aktivitas yang menandai bahwa di fase ini manusia benar-benar memposisikan alam sebagai sebuah unsur yang membuat mereka harus tunduk. Keyakinan mereka tumbuh subur, lalu di ekspresikan, misalnya saja dengan "penghormatan terhadap alam" dalam bentuk memberi makan tanah, memberi makan laut, memberi penghormatan terhadap hutan dan lain sebagainya.

Tentu saja ekspresi ini sebagai wujud nyata, bahwa pada fase ini manusia sadar betul dari mana asal muasal mereka, ini dibingkai dalam kisah cerita dalam tradisi lisan, sehingga bisa terus eksis di dunia. Iyyap, penghargaan mereka atas dasar kesadaran ketergantungan terhadap lingkungan. Melihat relasi-relasi itu tentu dengan cepat manusia sadari, sebab aktifitasnya sangat lekat serta dekat dengan alam.

Pada fase ini alam masih dalam posisi "superior" dan manusia "inferior" lalu bagaimana manusia menjungkirbalikkan posisi itu? Dari "takluk menjadi penakluk"

Sebelumnya manusia hanya pada posisi memanfaatkan alam untuk kebutuhan-kebutuhan mendasar saja. Makan, minum dan seterusnya, pada kesadaran penuh bahwa alam lah yang memberi mereka makan, untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat, glukosa, mineral, hidrogen, Oksigen, karbondioksida dan seterusnya. Alam sedang bekerja menyeimbangkan semuanya "metabolisme"  tumbuhan, hewan, dan tubuh manusia.

Hingga percikan pengetahuan terus di upgrade, deretan aktivitas menjadi begitu beragam, atas nama kemajuan, ledakan revolusi terus-terusan digembar-gemborkan, hingga kita benar-benar dalam sebuah arus utama pengerusakan lingkungan berbasis eksploitasi alam, ini ditandai dengan berbagai keinginan berkedok kebutuhan,  gaya hidup, gaya konsumtif, gaya berpakaian dll, membengkak, berubah drastis tak karuan, untuk memenuhi semua hasrat itu, kita membombardir lingkungan, yang tadinya "subjek" menjadi "objek" 

Sebelum membombardir alam sekitar "fisik" terlebih dahulu alam pikiran "metafisik" diobrak-abrik, perspektif yang selama ini di adopsi manusia didegradasi dengan giringan pergulatan pengetahuan. Misalnya saja, "Dari sakralitas di ubah menjadi desakralitas" "Dari metafisik ke materialistik" imbasnya "Tanah menjadi budak, dan manusia menjadi tuan" "Spritualitas menjadi rasionalitas" perlahan namun pasti nalar tumpah dan bermuara kesana, dari mana kita mendapatkan itu semua? Dari bangunan pengetahuan rasionalitas cara pandang barat.

Ada beberapa fase yang di lewati dalam pergulatan ini. Perspektif pertama adalah "Antroposentrisme" manusia sebagai pusat dari alam, perspektif ini membuat manusia jadi beringas dan menjadi akar masalah, manusia keluar menjadi mengeksploitasi alam, ini karena manusia menganggap dirinya merupakan pusat utama dari segala mahluk, sehingga pada perspektif ini manusia "superior" dan mahluk di luar dari dirinya "inferior" yang bebas mau di apakan saja.

Namun dalam sekelumit soal itu, ada harapan-harapan yang harus terus tumbuh, mengubah cara pandang eksploitatif tadi, misalnya dengan perspektif "Biosentrisme" kesetaraan manusia dengan alam, manusia dan mahluk hidup yang menginterpretasikan memposisikan seluruh mahluk hidup memiliki nilai yang sama, alam mahluk hidup lainnya memiliki hubungan erat antara satu dengan yg lain yang tak bisa terpisahkan, untuk mencapai taraf keselarasan kehidupan, pandangan-pandangan ini masih sering kita jumpai di ujung-ujung kampung.

Berikutnya "Ekosentrisme" perspektif ini menjadi puncak dari kedua pandangan tadi, ia meletakkan manusia, mahluk hidup "biotik" dan benda mati "abiotik" memiliki "nilai" yang sama, kemanfaatan yg sama di hadapan relasi kehidupan "biotik dan abiotik". Manusia, hewan, tumbuhan, Tanah, air, udara dan api dan sebagainya memiliki peranan yang sama pentingnya dalam kehidupan, "Interdependensi" melihat keterikatan antara mahluk satu dengan mahluk yang lain. Biotik maupun abiotik. jika ada salah satu unsur yang rusak maka rusak jugalah yang lainnya.

keteraturan alam ini menjadi pondasi bahwa pelestarian alam menjadi bagian dari menghidupkan pikiran dari kesurupan atas kerakusan  sehingga bisa menjegal biang pengrusakan.

Bagian ini menjadi penting untuk menguak kembali berbagai cara pandang yang adil dan lestari terhadap ekologi dan kesetaraan mahluk.  







Komentar

Postingan Populer